10 Februari 1999, 25 tahun yang lalu, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya meninggalkan kita semua. Tokoh multi talenta dengan berbagai profesi : tentara pelajar, pastor, arsitek, novelis, dosen dan pekerja kemanusiaan yang sulit dicari padanannya.
Insan dengan gagasan-gagasan besar, ketulusan mendalam seorang pastor, ketajaman dan sarkasme seorang kritikus, tapi juga seorang arsitek yang sangat nyata. Pergulatannya nyata dan membawa misi besar
Bintang Budaya Parama Dharma adalah tanda kehormatan yang dianugerahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menghormati seseorang atas jasanya dalam bidang kebudayaan.
Karya-karyanya telah menghasilkan berbagai penghargaan. Sebut saja Penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari Radio Nederland Wereldomroep, Aga Khan Award for Architecture untuk permukiman warga pinggiran Kali Code, Yogyakarta, penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendangsono`, pernghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay Award pada tahun 1996, dan tahun 2010 dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Masyarakat luas mengenal Romo Mangun sebagai pembela bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan. Ini ikon Romo Mangun yang paling besar.
Oleh banyak orang, Romo Mangun diakui sebagai cendekiawan Indonesia yang besar. Romo Mangun juga salah satu dari hanya beberapa cendekiawan besar terakhir dari generasi 1945 yang dimiliki bangsa ini.
Romo Mangun berkiprah di mana-mana, lintas kelas, lintas-agama, lintas wilayah kesukuan. Ia adalah satu di antara sedikit tokoh nasional dengan beragam bakat dan minat. Romo Mangun adalah tokoh lintas batas ruang dan waktu.
Kenangan padanya tak akan lekang oleh waktu. Karyanya menjadi nyata untuk senantiasa dilanjutkan dari generasi ke generasi.